Setiap Anggota DPR Alirkan Rp 15 Miliar untuk Stimulasi Pembangunan di Dapil


Terobosan baru dibuat para anggota DPR. Mereka akan menjadi pintu alokasi dana untuk stimulasi pembangunan di dapil (daerah pemilihan) masing-masing. Jumlahnya cukup besar, setiap anggota DPR mendapat plafon Rp 15 miliar.

“Itu gagasan sejumlah fraksi, tidak hanya Golkar,” kata Ade Komarudin, sekretaris Fraksi Partai Golkar, kepada wartawan koran ini kemarin (30/5). Usul itu dilontarkan Fraksi Partai Golkar. Namun, sambungnya, usul tersebut sudah menjadi pandangan umum fraksi-fraksi. “Komunikasi awal di Komisi XI,” jelasnya.

Ade menjelaskan, gagasan pengalokasian dana untuk dapil itu merupakan salah satu alternatif yang berkembang. Prinsipnya, anggota DPR harus memiliki tanggung jawab untuk mengembangkan dapilnya. Namun, saat ini upaya itu tidak maksimal karena anggota DPR tidak memiliki alokasi dana. “Kan ini sama saja untuk pembangunan. Yang mengusahakan dananya anggota dewan,” ujarnya.

Secara teknis, kata Ade, daerah nanti yang memiliki kuasa mengelola anggaran. Secara spesifik adalah daerah tingkat II seperti kabupaten dan kota. Mulai perencanaan, kebutuhan anggaran, hingga tahap operasional semua dilaksanakan daerah. “Misalnya Karawang (dapil Ade) butuh berapa, Bekasi berapa. Nah, anggota DPR tidak boleh menyentuh, tidak juga mengurus sedikit pun duit atau segala macam untuk daerah ini,” tegas pria yang baru saja didapuk sebagai ketua umum SOKSI itu.

Nilai Rp 15 miliar, kata Ade didapat dari rata-rata kebutuhan daerah untuk sebuah program. Jumlah itu, lanjutnya, ditolak badan anggaran dengan alasan belum memiliki landasan hukum. Namun, Ade optimistis sikap badan anggaran akan berubah karena itu merupakan kesepakatan fraksi. “Biasa itu, masih sempat ada perselisihan. Namun, sekarang mungkin bisa diatur karena memang bukan jatah pribadi,” tandasnya.

Dalam rapat paripurna 25 Mei, anggota Fraksi Partai Golkar Roemkono menyatakan, pengalokasian dana itu sebagai bentuk pertanggungjawaban anggota terpilih pada daerah pemilihannya. Selain itu, kebijakan tersebut untuk memeratakan anggaran pada wilayah yang sedikit atau tidak teralokasi oleh belanja pemerintah pusat maupun daerah. “Ini sekaligus menjadi tolok ukur kinerja anggota DPR,” ujarnya.

Untuk mengoptimalkan penggunaan dana ini, lanjut dia, penyusunan kriteria dan mekanisme pelaksanaan hak anggaran memerlukan aturan komprehensif. Kriteria dan mekanisme ini juga dapat dilaksanakan oleh satuan kerja pemerintah pusat dan atau satuan kerja pemerintah daerah dan diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Anggota Komisi XI dari FPDIP Eva Kusuma Sundari membenarkan bahwa pos anggaran untuk dapil memang menjadi pembicaraan serius di internal komisinya. Namun, bentuknya lebih ke program, bukan bagi-bagi uang kas.

Secara pribadi Eva menyetujui semangat ide tersebut. Selama ini, ujar Eva, setiap anggota dewan yang memiliki hak bujet memperjuangkan anggaran tertentu untuk kementerian atau lembaga.

Eva mencontohkan, dirinya pernah memperjuangkan anggaran Rp 30 miliar untuk program sosialiasi UU Trafficking di Kejaksaan Agung dalam APBN-P 2007. Begitu juga dana Rp 10 miliar untuk program pendidikan politik di Kementerian Pemberdayaan Perempuan.

Dalam APBN 2008, Eva yang saat itu duduk di Komisi III mendorong sejumlah anggaran bagi Mabes Polri untuk memberangkatkan misi perdamaian ke Sudan. Meskipun mendorong pos-pos anggaran tersebut, Eva menyebut itu merupakan ekspresi dari perjuangan ideologisnya.

Dalam proses eksekusi atau pelaksanaan, Eva mengaku sama sekali tidak pernah ikut campur. ”Aku bersih, nggakdapat komisi, nggak minta hadiah dari lembaga yang mendapat itu,” akunya. Dengan logika yang sama, Eva mengaku bisa menerima logika untuk memperjuangkan dapil melalui hak bujet.

”Dalam sumpah DPR juga disebut akan memperjuangkan daerah yang diwakili melalui hak bujet,” tegasnya.

Menurut Eva, selama ini Kementerian Keuangan sering membagi dana alokasi untuk daerah berdasar rumus yang kompleks. Namun, kementerian itu tidak merespons hasil-hasil musrembang. ”Nah, tugas DPR untuk memastikan anggaran berbasis kebutuhan (dapil, Red),” terang Eva.

Dengan begitu, eksekusi di lapangan tetap dikerjakan kementerian atau lembaga terkait. Jadi, prosesnya sepenuhnya mengikuti Standard Operating Procedure (SOP) pihak eksekutif. ”Tapi, jangan ikut-ikutan eksekusi. Sebatas diskusi saat pembahasan anggaran saja. Jangan dibayangkan kami bawa kas,” ujarnya. Pandangan Eva ini sangat berbeda dengan Golkar yang menginginkan operasional dilakukan pemda/pemkot.

Achsanul Qosasih, wakil ketua Komisi XI, tidak sepakat dengan sistem bagi rata, yakni Rp 15 miliar, bagi setiap anggota untuk “diabdikan” di dapil masing-masing. Dia khawatir terjadi tumpang tindih dan duplikasi program.

Intinya, kata dia, harus ada “pos dapil” masuk ke bujet. Pemanfaatannya mengacu kepada data Bappenas. Dengan demikian, bisa jadi satu dapil tertentu memperoleh dana yang lebih besar daripada dapil lain. ”Jadi, lebih mengoptimalkan fungsi Bappenas dalam pengalokasian anggaran sesuai dengan kebutuhan Bappeda,” kata politikus Partai Demokrat itu. (pri/bay/c2/tof)

Disclaimer : malah jadi repot kalo pengawas anggaran ikut jadi perencana sekaligus pelaksana anggaran, gimana bisa mengawasi kalo begini….???

sumber : klik disini

Tinggalkan Balasan

Please log in using one of these methods to post your comment:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s