
Kini sudah tidak bisa bicara. Makan dan minum pun dengan bantuan selang. Terbaring lemas di atas tempat tidur rumah sakit yang hanya berukuran ½ x 2 meter.
Itulah Tinah (65), warga Desa Rawa Rengas, Kosambi Kabupaten Tangerang, pasien gakin yang menggunakan Jamkesmas di RSU Tangerang. Kenyataan ini terlalu cepat karena sebelumnya tidak ada tanda-tanda kalau dirinya bakal terkena stroke.
Penyakit yang menggerogoti tubuhnya kian parah saja. Pembulu darah pecah sehingga untuk makan dan minum sampai buang air harus melalui selang. Beruntung putranya, Hanafi (30), selalu setia berada di samping Tinah. Sementara sang suami, hanya bisa menunggu dalam kecemasan di rumah lantaran usia tua.
Saat ditemui okezone, baru-baru ini, raut muka Hanafi seakan memikul beban sangat berat, terlihat saat mengipasi ibunya dengan kipas bambu. Walau telah dipasang kipas angin, suasana dalam ruangan yang menyediakan delapan tempat tidur dan satu toilet itu, masih terasa sangat panas.
Berusaha menyejukan suasana, Hanafi sesekali tersenyum dan beranjak ke luar ruangan sekadar menghirup udara segar. Namun pandangannya tak pernah enak. Sesekali dilihatnya jenazah tertutup kain hijau didorong seorang suster, dan dibuntuti tangisan anggota keluarga yang ditinggal.
Terkadang, pendengarannya pun menangkap rintihan sakit dari pasien yang berada di samping tempat tidur ibunya. “Sudah 26 hari, malah kayaknya hampir sebulan saya di RSU Tangerang nemenin ibu yang sakit stroke. Ya, mau bagaimana lagi,” ucap Hanafi dengan suara lirih mengawali pembicaraan.
Bangsal rumah sakit seperti ini sudah cukup untuk merawat ibunya. Sebelumnya, dia empat mendapatkan kekecewaan dari pihak rumah sakit. Soalnya harus menunggu 15 jam di ruang IGD lantaran kamar inap telah terisi semua.
Padahal ketika itu kondisi Tinah semakin memburuk. Dokter yang menanganinya menyarankan agar secepatnya dioperasi akibat pembuluh darah di kepala ibunya pecah. Seperti tersambar petir di siang bolong, putusan dokter membuat Hanafi tambah takut dan bingung setengah mati, harus berbuat apa.
Kendati demikan, dia percaya Tuhan pasti punya rencana baik untuknya. Dengan segala risiko saat itu Hanafi menolak rencana operasi karena khawatir kesehatan ibunya justru kian parah. Setelah dokter menjelasakan lebih lanjut, Hanafi akhirnya menyetujui rencana operasi tersebut. Dalam kekalutan yang mengelayuti pikirannya, Hanafi kembali mendapat konfirmasi dari dokter yang justru makin membuatnya tambah bingung.
Ibunya akan dirujuk ke RSCM. Alasannya, ruang ICU penuh. Mendengar putusan dokter, Hanafi kembali menolak rujukan tersebut. “Bukannya gimana-gimana, saya tidak tahu rumah sakit itu. Saya tidak ngerti kenapa disarankan dioperasi, tapi malah dirujuk ke rumah sakit lain,” cerita pemuda yang buruh tani itu.
Tinah masih tergolek lemas di ruang IGD. Hanafi lagi-lagi dalam kecemasannya harus memutar otak. Tak mau berpangku tangan sementara Tinah dalam kondisi kritis. Lelaki berkulit coklat ini lalu menghampiri pusat informasi untuk menanyakan kamar inap.
Hanya jawaban yang menyesakan diperoleh dari bagian informasi. Kamar untuk pasien pengguna Jamkesmas sudah penuh, demikian konfirmasi yang didapat Hanafi. Hanafi yang masih berharap ada kamar kosong tidak mau begitu saja percaya dengan petugas administrasi bagian informasi.
Dia nekat mengecek langsung semua kamar inap yang ada di rumah sakit itu. “Saya lihat ada tulisan ‘cari kamar 1-3″, jadi saya coba lihat sendiri apa benar kamarnya penuh,” katanya. Sesekali dirinya bertanya kepada sejumlah petugas dan suster. Akhirnya, jawaban menggembirakan itu datang juga.
Seorang suster yang ditemuinya memberitahu masih ada tersisa satu kamar di kelas 1 ruang kenanga. “Di ruang kenanga masih ada satu tempat tidur. Ibu saya bisa diantar ke sana,” ucap Hanapi ketika memberitahukan hal itu ke bagian informasi. Menunggu dan menunggu, itulah yang selalu menghampirinya. Hampir dua jam, hati panas dan
pikiran kalut. Maunya mendapat pelayanan yang baik berkecamuk di otak Hanapi yang mulai dongkol.
Setelah menunggu lama, Tinah dipindah ke kamar inap. “Setelah saya bilang ada kamar kosong, dua jam kemudian ibu saya dipindahkan ke kelas satu dan diberi tuh infus sampai delapan harilah di ruang itu. Sekarang dipindahin ke sini ke ruang cempaka atau kelas tiga,” jelas Hanafi sedikit lega.
Meski sempat mendapat kekecewaan dari pihak rumah sakit yang kurang sigap dalam pelayanan, Tinah dan Hanafi bersyukur karena dengan Jamkesmas tidak harus mengeluarkan biaya pengobatan. “Sepenuhnya melalui Jamkesmas,” ujarnya.
Kini kondisi kesehatan Tinah sedikit demi sedikit membaik. Hanafi hanya berharap ibunya dapat sehat kembali. “Kamar inap ini masih lumayanlah, dibanding tempat tinggal saya. Rumah masih dari kayu dan enggak enak dilihat,” ungkapnya.
Wakil Kepala Ruangan RSU Tangerang Ririn menjelaskan, pihaknya sudah disiapkan sebanyak 82 kamar inap untuk pasien pengguna Jamkesmas. Masing-masing terdiri dari kelas tiga kamar cempaka, dahlia dan kamar soka yang saat ini sedang di perbaiki.
“Kalau kamar kenanga itu kelas satu dan kelas dua. Kadang memang kalau pasien penyakit dalam dimasukan juga ke kamar itu jika kelas tiganya penuh. Namun kami butuh bantuan keluarga untuk menunggu peroses penempatan kamar tersebut,” ujarnya saat dikonfirmasi.
Sementara itu di lain kamar terdengar rintihan sampai teriakan-teriakan dari pasien yang kesakitan. Aming (72), juga mengidap penyakit yang sama seperti Tinah. Warga Kampung Melayu ini tak bisa menelan makanan. Tenggorokannya luka, tangan kirinya nyaris tak mampu digerakan. Di tangan kanannya tertancap jarum infus lengkap dengan selang yang mengarah ke cairan di sebuah tabung.
Nah, dari situlah Aming mendapat asupan makanan dan oksigen. Tempat tidur di pinggir jendela membuat Aming terkadang keluar ruangan sekadar melihat
luar kamar dengan bantuan istrinya Siti (62). “Bapak cuma kuli tani di sawah. Namanya orangtua jadi kerjanya juga ringan-ringan aja. Badannya biasa begerak pas sakit dan tiduran mulu, kadang-kadang dia marah-marah, pengen keluar dan ngajak pulang,” tuturnya.
Nasib Aming tak jauh berbeda dengan Tinah yang menderita stroke. Kehidupan yang pas-pasan membuat Siti sedih saat melihat suaminya terbaring sakit. Kenapa harus seperti ini? Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga, begitulah nasib yang mendera keluarga Tinah dan Aming.
Mereka sudah keyang dengan kemiskinan, tapi ternyata tidak selesai di situ. Penyakit yang terbilang serius juga menghampiri kelas ekonomi rendahan ini sehingga semakin lengkaplah penderitaan mereka.
Adanya fasilitas dari negara berupa Jamkesmas memang sedikit banyak membantu keluarga miskin untuk berobat di rumah sakit. Bagi mereka yang berpenghasilan kecil, biaya berobat akan semakin memperburuk kondisi ekonominya yang sudah miskin semakin melarat jika tidak ada bantuan negara.
Disayangkan, masih terjadi perlakukan diskriminasi terhadap pasien gakin ini dari pihak rumah sakit. Padahal, layanan kesehatan adalah hak asasi bagi setiap warga negara tanpa kecuali yang termaktub dalam konstitusi.
Tinah dan Aming hanya sepenggal kisah dari warga miskin yang masih beruntung bisa mendapat pengobatan layak dengan Jamkesmas. Bagaimana dengan warga miskin lainnya seperti anak jalanan, pengemis, atau gelandangan yang tidak punya Jamkesmas? Ketika sakit parah, kemanakah mereka berobat? Atau malah membiarkan sakit menggerogoti tubuhnya hingga ajal menjemput lantaran tidak sempat berobat ke rumah sakit?